RATUSAN PEREMPUAN DESAK RUU PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL DISAHKAN
RUU ini terombang-ambing selama 5 tahun
situs judi online - Ratusan aktivis perempuan melakukan pawai akbar "Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS)". Pawai tersebut merupakan bagian dari rangkaian acara 16 Hari Anti Kekerasan Seksual.
"Ayo kita lawan kekerasan seksual!" teriak Koordinator Lapangan, Mutiara Eka Pratiwi, Sabtu, 8 Desember 2018.
1. Pawai dimulai dari kawasan Sarinah Jakarta Pusat
Pawai dimulai pada pukul 08.30 WIB dari kawasan Sarinah, Jakarta Pusat. Pawai akan berakhir di Taman Aspirasi. Sepanjang jalan, ratusan aktivis tersebut menyuarakan suara tentang urgensi pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
2. Peserta datang dari berbagai kota
Peserta pawai datang dari berbagai kota, seperti Yogyakarta, Bengkulu, Surabaya, Kalimantan, Aceh, Sibolga, hingga Palu. Mereka berasal dari berbagai organisasi, seperti aktivis perempuan, penyandang disabilitas, ibu rumah tangga, perempuan pekerja, dan sebagainya.
Tak hanya perempuan, tampak pula peserta laki-laki yang memberikan dukungan. Mereka membunyikan kentongan dan peluit sebagai simbol darurat kekerasan seksual.
3. UU PKS sudah 5 tahun diperjuangkan
Dalam pawai tersebut, Pratiwi mengatakan RUU PKS sangat mendesak untuk disahkan. Sudah 5 tahun RUU tersebut terombang-ambing di DPR sejak digaungkan pada tahun 2013.
"Kami desak negara agar segera mengesahkan RUU PKS. Apakah kita bisa nunggu lebih lama lagi? Tidak! Tiap tahun angka kekerasan meningkat. Pelakunya orang terdekat, tapi gak kena sanksi. Proses penyidikan juga belum berperspektif gender," ujarnya.
4. Kekerasan seksual meningkat setiap tahun
Pratiwi mengatakan, pada 2016 ada 255 ribu kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak. Jumlah tersebut terus meningkat setiap tahun. Oleh sebab itu, negara harus melihat ketimpangan berbasis gender tersebut.
"Jangan menutup mata terhadap persoalan perempuan, anak, dan penyandang disabilitas yang jadi korban dan kerentanan kasus kekerasan seksual," kata Pratiwi.
5. DPR dan pemerintah dinilai tak berani bersuara
Pratiwi menilai, lambatnya pengesahan RUU PKS menunjukkan DPR dan pemerintah tak berani bersuara. Apalagi, saat ini DPR dan pemerintah menghadapi masa transisi dari tahun 2018 ke tahun 2019.
"Itu berarti ada peralihan kepemimpina dari DPR dan jajaran pemerintahan. Semua yg urgent tentang RUU PKS harus segera disahkan. Negara kurang bukti apa? Kondisi saat ini sudah darurat kekerasan seksual!" ungkapnya.
situs judi online - Ratusan aktivis perempuan melakukan pawai akbar "Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS)". Pawai tersebut merupakan bagian dari rangkaian acara 16 Hari Anti Kekerasan Seksual.
"Ayo kita lawan kekerasan seksual!" teriak Koordinator Lapangan, Mutiara Eka Pratiwi, Sabtu, 8 Desember 2018.
1. Pawai dimulai dari kawasan Sarinah Jakarta Pusat
Pawai dimulai pada pukul 08.30 WIB dari kawasan Sarinah, Jakarta Pusat. Pawai akan berakhir di Taman Aspirasi. Sepanjang jalan, ratusan aktivis tersebut menyuarakan suara tentang urgensi pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
2. Peserta datang dari berbagai kota
Peserta pawai datang dari berbagai kota, seperti Yogyakarta, Bengkulu, Surabaya, Kalimantan, Aceh, Sibolga, hingga Palu. Mereka berasal dari berbagai organisasi, seperti aktivis perempuan, penyandang disabilitas, ibu rumah tangga, perempuan pekerja, dan sebagainya.
Tak hanya perempuan, tampak pula peserta laki-laki yang memberikan dukungan. Mereka membunyikan kentongan dan peluit sebagai simbol darurat kekerasan seksual.
3. UU PKS sudah 5 tahun diperjuangkan
Dalam pawai tersebut, Pratiwi mengatakan RUU PKS sangat mendesak untuk disahkan. Sudah 5 tahun RUU tersebut terombang-ambing di DPR sejak digaungkan pada tahun 2013.
"Kami desak negara agar segera mengesahkan RUU PKS. Apakah kita bisa nunggu lebih lama lagi? Tidak! Tiap tahun angka kekerasan meningkat. Pelakunya orang terdekat, tapi gak kena sanksi. Proses penyidikan juga belum berperspektif gender," ujarnya.
4. Kekerasan seksual meningkat setiap tahun
Pratiwi mengatakan, pada 2016 ada 255 ribu kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak. Jumlah tersebut terus meningkat setiap tahun. Oleh sebab itu, negara harus melihat ketimpangan berbasis gender tersebut.
"Jangan menutup mata terhadap persoalan perempuan, anak, dan penyandang disabilitas yang jadi korban dan kerentanan kasus kekerasan seksual," kata Pratiwi.
5. DPR dan pemerintah dinilai tak berani bersuara
Pratiwi menilai, lambatnya pengesahan RUU PKS menunjukkan DPR dan pemerintah tak berani bersuara. Apalagi, saat ini DPR dan pemerintah menghadapi masa transisi dari tahun 2018 ke tahun 2019.
"Itu berarti ada peralihan kepemimpina dari DPR dan jajaran pemerintahan. Semua yg urgent tentang RUU PKS harus segera disahkan. Negara kurang bukti apa? Kondisi saat ini sudah darurat kekerasan seksual!" ungkapnya.
Komentar
Posting Komentar